Tradisi Orang Dayak Ma’anyan
Berikut tradisi turun-temurun orang Ma’anyan yang seharusnya
tetap dilestarikan dan yang hampir terlupakan, tradisi yang berkaitan dengan
usaha/kegiatan kebutuhan hidup masyarakat ;
1) NGANYUH
MU’AU / IPANGANDRAU
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, orang Dayak Ma’anyan bercocok-tanam dengan
berladang dan mayoritas daerah perbukitan dengan ketinggian sedang dan
berpindah-pindah setelah lahan sudah tidak menghasilkan. Lalu diganti dengan
perkebunan, yaitu KARET.
Dalam tradisi berladang orang Dayak
Ma’anyan, ada yang hampir terlupakan dan bahkan saat ini sudah ada yang tidak
melaksanakan tradisi tersebut; yakni NGANYUH MU’AU / PANGANDRAU.
Nganyuh Mu’au atau Ipangandrau
dilaksanakan orang Ma’anyan ketika mereka memulai menabur bibit padi. Disini
terlihat kebersamaan suku Dayak Ma’anyan khususnya, dimana masyarakat secara
bersama-sama turut dalam menabur benih salah satu keluarga atau tetangga bahkan
dari desa berbeda yang biasanya selesai pada hari itu juga oleh orang yang
jumlahnya banyak tersebut.
Adapun kebiasaan yang dilakukan,
yaitu beberapa orang laki-laki membawa EHEK (alat dari kayu untuk melobangi
tanah yang kemudian di tabur benih) berjalan didepan yang di komando/dipimpin oleh seorang PANGAYAK, yaitu orang yang
memimpin gerakan menanam benih ini agar tertib dengan kaidah-kaidah menurut
adat yang biasanya dari keluarga yang melaksanakan kegiatan NGANYUH ini. Sedangkan
para perempuannya berjalan dibelakang dengan membawa BAJUT (sebuah wadah dari anyaman digunakan sebagai tempat WINI / benih) dan dengan tertib menabur
benih tadi kedalam lobang EHEK yang
dibuat oleh para pria tadi.
Setelah sampai waktunya untuk beristirahat, maka warga yang membantu dalam kegiatan tersebutpun disuguhi dengan berbagai penganan khas suku Ma’anyan; seperti BUBUR WADAI, KALUWIT, dan banyak lagi hingga makan siang.
Ada suatu tempat tepat ditengah-tengah ladang/ UME yang tidak boleh ditanami dengan benih, yang disebut; “PANGKAT PALANUNGKAI”, luasnya sekitar 4 meter persegi. Tempat ini diyakini secara turun-temurun adalah tempat para dewi padi untuk menjaga ladang tersebut dari gangguan binatang/hama yang dapat merusak padi setelah tumbuhnya, sehingga hasil tanam lebih baik dan maksimal.
Setelah sampai waktunya untuk beristirahat, maka warga yang membantu dalam kegiatan tersebutpun disuguhi dengan berbagai penganan khas suku Ma’anyan; seperti BUBUR WADAI, KALUWIT, dan banyak lagi hingga makan siang.
Ada suatu tempat tepat ditengah-tengah ladang/ UME yang tidak boleh ditanami dengan benih, yang disebut; “PANGKAT PALANUNGKAI”, luasnya sekitar 4 meter persegi. Tempat ini diyakini secara turun-temurun adalah tempat para dewi padi untuk menjaga ladang tersebut dari gangguan binatang/hama yang dapat merusak padi setelah tumbuhnya, sehingga hasil tanam lebih baik dan maksimal.
Setelah satu hari penuh telah dilaksanakan
gotong-royong pada UME salah satu warga, maka hari berikutnya setelah
ditentukan sebelumnya dilanjutkan ke UME warga yang lainnya, demikian
seterusnya secara bergantian sampai masa tanam selesai.
Itulah tradisi Suku Dayak Ma’anyan yang disebut “NGANYUH MU’AU” atau juga sering disebut “IPANGANDRAU”
Itulah tradisi Suku Dayak Ma’anyan yang disebut “NGANYUH MU’AU” atau juga sering disebut “IPANGANDRAU”
2) NIKEP-NUHAK-NARIUK
Tradisi ini biasa ramai-ramai dilakukan masyarakat suku Dayak Maanyan ketika musim kemarau tiba.
Tradisi ini biasa ramai-ramai dilakukan masyarakat suku Dayak Maanyan ketika musim kemarau tiba.
3) MUWU-NANGKALA
Ketika musim hujan tiba, air memenuhi sungai-sungai kecil diwilayah sekitar pemukiman masyarakat suku Maanyan. Pada musim kedalaman air yang pasang, sering dimanfaatkan warga untuk menangkap KENAH (ikan) yang ada di sepanjang aliran sungai sekitar sebagai lauk-pauk warga yang ditangkap secara tradisional menggunakan WUWU atau TANGKALA (sejenis perangkap ikan yang terbuat dari bambu atau buluh).
Ketika musim hujan tiba, air memenuhi sungai-sungai kecil diwilayah sekitar pemukiman masyarakat suku Maanyan. Pada musim kedalaman air yang pasang, sering dimanfaatkan warga untuk menangkap KENAH (ikan) yang ada di sepanjang aliran sungai sekitar sebagai lauk-pauk warga yang ditangkap secara tradisional menggunakan WUWU atau TANGKALA (sejenis perangkap ikan yang terbuat dari bambu atau buluh).
4) NIN’NYAK-NAMPALENG
Tradisi NIN'NYAK-NAMPALENG adalah sebagai pekerjaan sampingan para warga MAANYAN dahulu kala, dan bahkan sampai sekarang. Tradisi tersebut adalah menangkap binatang buruan didalam hutan dengan menggunakan jerat sintetis maupun tali logam untuk disantap sebagai lauk. Namun sekarang ini sudah sangat sulit untuk mendapatkan binatang buruan karena banyak hutan-hutan tempat populasi binatang buruan tersebut di babat oleh oknum-oknum tertentu bahkan oleh investor perusahaan perkebunan.
maeh tu'u informasi ni ma kami kawula muda, daya itati rama kawan pamuda haut pakarasa identitas ni selaku anak tumpuk maanyan.. aku pada hamen itunti, amun karasa informasi mengenai mitos atawa legenda hingka weah dite awat pulaksanai ngami info ma aku dalam rangka ku menulis karya tulis ilmiah khusus ni pakai ku skripsi.. ina alamaat facebook ku ( arliedangbuduett@ymail.com )
BalasHapus